Ketika aku jatuh cinta, kau tahu? Aku takkan mudah lupa. Bahkan hingga bulan membungkam bulan dan tahun melucuti tahun, aku -tetap- takkan mudah lupa. Mungkin, jikalau sel-sel syarafku terjangkiti alzheimer, atau kepalaku tertimpuk benda tumpul sampai amnesia, saat itulah aku akan bisa melupakan cinta :D
Kau tahu? Hingga detik ini aku belum berani jatuh cinta. Ketakukan masih saja mendera saat ku berbicara tentang cinta. Cinta menurutku, bak siluman-siluman kota yang buruk rupa!
Mungkin kau bertanya-tanya, kenapa aku tak berani jatuh cinta? Bukankah cinta adalah rasa termegah yang Tuhan ciptakan untuk manusia? Bukankah dengan cinta, musibah tak ubahnya mahabah dan duka berubah jadi serekah senyuman?
Ah, sungguh... aku tahu benar tentang itu. Kutahu cinta adalah kosakata terindah yang mampu di dengar manusia. Aku bukan tak berani jatuh cinta... aku, hanya belum berani jatuh cinta.
Kau tahu mengapa?
Karna aku takut.
Entahlah, aku hanya takut kalau-kalau aku menempatkan cinta di waktu dan rasa yang salah.
Kau tahu? Tiap kali aku merasa hampir jatuh cinta, dengan segera kan kukemas rapat-rapat rasa itu dalam sebuah amplop, lalu kukirimkan ke langit. Kukatakan, "Ya Allah, aku belum berani jatuh cinta. Karna untuk jatuh cinta, aku butuh jaminan. Jaminan bahwa sosok yang kucintai adalah sosok yang pasti akan menjadi imamku. Aku belum berani jatuh cinta sebelum kutahu pasti siapa yang berhak kucintai."
Bodoh memang. Konyol memang. Tapi itulah aku dan segala daya upayaku menjaga cinta. Memang, membuang rasa cinta tak ubahnya menipu diri sendiri. Semakin berkata tidak, maka sebenarnya jauh ke dalam jiwa, ia akan semakin mengiyakan. Memang perih, tapi ku tahu benar, Allah menghitung usahaku.
----
Sempat aku menangis. Emosi kala itu tengah membuncah. Tak habis aku berkeluh kesah pada Allah, "Allah, sepertinya aku mulai cenderung pada seseorang, dan kutahu, ia jelas cenderung padaku. Apakah aku salah seperti ini, Allah? Bukankah manusia ditakdirkan memang untuk saling mencenderungi?"
Lalu lagi-lagi aku terbentur pada sebuah prinsip yang ternyata telah tertanam kuat di dasar alam sadarku. "Untuk apa aku membuang waktu menyukainya? Ia belum tentu menjadi laki-lakiku." Begitulah... sedikit demi sedikit kucoba membunuh rasa. Dan segala puji untuk Allah, aku selalu saja berhasil! Alhamdulillah :)
-----
Jika diibaratkan hati adalah sebuah kertas, maka hatiku adalah selembar kertas kosong. Tak pernah ada sejarah tentang seseorang. Tak pernah ada biografi seseorang. Walau pernah hampir kutulis sebuah nama, aku lekas menghapusnya. Karna sekali lagi kukatakan bahwa aku takut. Jika terlanjur aku jatuh cinta, aku akan sulit lupa.
Kau tahu mengapa kulakukan ini? Karna aku bergantung pada sebuah firman Allah:
Katakanlah, "Jika bapak-bapakmu, anak-anakmu, saudara-saudaramu, istri-istrimu, keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perdagangan yang kamu khawatirkan kerugiannya, dan rumah-rumah tempat tinggal yang kamu sukai, lebih kamu cintai dari Allah dan Rasul-Nya serta jihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah memberikan keputusan-Nya. Dan Allah tidak memberi petunjuk pada orang-orang fasik. (QS At-Taubah:24).
Menurut seorang wanita berilmu yang kubertemu dengannya di sebuah majelis, ia berkata, "Dari ayat ini dan dari beberapa hadist penunjang, maka disimpulkan bahwa urutan cinta seharusnya adalah pada Allah, lalu pada rasulullah, lalu pada jihad, dan terakhir, jika kamu seorang wanita... adalah pada suami."
Setelah aku mendengar dengan terang tentang hakikat mencintai, bagaimana bisa lantas aku berani jatuh cinta? Aku belum bersuami, dan aku tak berhak menempatkan sebuah nama asing diurutan keempat.
Dan akan sungguh menyenangkannya jika kelak, saat kubertemu dengan 'dia', kukatakan dengan bangga padanya, "Kau, kutempatkan diurutan cinta keempat setelah Allah, Rasul, dan Jihad." Insya Allah.
Bandung, 16 Juni 2011
No comments:
Post a Comment